Kesal, sedih, marah, bahagia, senang, bangga adalah berbagai perasaan yang bisa berkecamuk dalam hati siapa saja. tidak terkecuali anak-anak. Sayangnya, tidak semua anak mempunyai kesempatan mengasah keterampilan mengungkapkan perasaannya.
Intan (8) merasa kesal sekali karena hampir setiap hari terlambat ke sekolah. Ayahnya yang biasa mengantar ke sekolah selalu belum siap sebelum jam setengah tujuh. Padahal, jam 7 lewat 15 menit gerbang sekolah sudah ditutup. Setiap kali Intan menyampaikan perasaan kesalnya pada ayah, ia selalu kecewa. Sebab ayahnya hanya berkata, "Sudah nggak usah nangis. Terlambat aja kok nangis."
Ibu Intan sama saja, setiap kali Intan ingin bercerita tentang hal-hal yang dialaminya di sekolah, ibu sering mengalihkannya. Kata ibu, "Kamu
Perasaan atau emosi adalah sebuah reaksi dari dalam diri seseorang terhadap keadaan, situasi, atau apapun yang mengakibatkan otak dan berakibat pada fisik. Itulah sebabnya kenapa keadaan emosi seseorang sering berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Tetapi, tidak hanya mudah berubah. Menurut Ery Retno Artini, Psi., konsultan dan trainer pendidikan, emosi bisa menular. Misalnya, saja bila seorang suami sering marah-marah pada istrinya, maka anaknya pun akan mudah marah kepada pembantu.
Sama halnya dengan yang terjadi pada Intan. Karena perasaannya sering diabaikan, Intan tumbuh menjadi orang yang dipaksa untuk mengabaikan perasaannya sendiri. Perlahan, ia pun akan mudah mengabaikan perasaan orang lain. Pengabaian perasaan sering terjadi tanpa disadari sejak anak masih kecil dan belum mampu berkomunikasi dengan baik. Misalnya saat anak terjatuh, merasakan ketidaknyamanan lalu menangis. Para ibu sering berkata, "Cep, cep, cep ya sayang jangan menangis, ini lantainya nakal ya!"
Proses pengabaian perasaan ini umumnya lebih parah diderita oleh anak laki-laki, sebab laki-laki di negara kita dibentuk sebagai orang yang tidak boleh mengeluarkan air mata. Akibatnya kebanyakan laki-laki di Indonesia tumbuh sebagai pribadi yang tidak peduli dengan perasaannya sendiri maupun perasaan orang lain.
Sebaiknya, emosi positif pun bisa menular. Yang dimaksud dengan emosi yang positif adalah kemampuan seseorang dalam menamakan dan menyalurkan perasaannya secara benar. Maka orang tua yang mau mendengarkan, menghargai, dan membantu mencari jalan keluar terhadap perasaan yang sedang dihadapi anaknya, akan membantu anak tumbuh menjadi orang yang menghargai perasaan orang lain.
Karena itulah, Ery menekankan tentang pentingnya belajar mengenali perasan dan menyalurkannya pada saluran yang tepat. Bila tidak dilatih dan diasah, setiap orang akan tumbuh menjadi orang yang buta emosi, tidak mampu menerima dan memahami adanya perasaan dalam dirinya, sehingga dapat menghancurkan diri sendiri atau orang lain. Apalagi emosi dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Bila cara berpikirnya negatif, perilakunya cenderung negatif. Misalnya selalu berburuk sangka terhadap orang lain.
Latihan berbagi perasaan bisa dimulai dari tahapan mengenali perasaan, menamakannya dan mencari jalan keluar. Anak bisa dilatih mengenali perasaannya dengan bantuan orangtua. Misalnya saja orangtua berkata, "Adek capek ya, dari tadi main terus." Juga dilatih menamakan perasaannya. Misalnya saat muka anak sedang cemberut cobalah tanya, "Kakak sedang kesal? Ada apa, Kak? Mungkin mama bisa bantu."
Begitu pun saat berupaya mencari solusi satu masalah, cobalah mencarinya bersama anak. "Kalau kakak tidak mau terlambat, jalan keluarnya kakak harus bangun lebih pagi, dan..."
Untuk mempermudah, Ery menawarkan metode ABCD pemecahan masalah, dimana ABCD ini berarti tanyakan masalahnya, lanjutkan pada kumpulkan alternatif pemecahan masalahnya. Kemudian, pilihlah jalan keluarnya dan yang terakhir lakukan. Ketrampilan ABCD ini bila dilatih akan berdampak positif terhadap anak. Kekesalan, kemarahan, kesedihan mereka pun tidak meluap kemana-manatapi akan keluar sesuai dengan jalurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar